Dharma Yatra yang di selenggarkan pada hari
Minggu, 23 Maret 2014 dilaksanakan dalam memenuhi tugas Pendidikan Agama Hindu.
Kegiatan Dharma Yatra ini di ikuti oleh kelas II/C dan kelas II/H Jurusan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan
Ganesha dan di dampingi oleh dosen pengampu mata kuliah pendidikan Agma Hindu
yaitu Bapak I Wayan Widiana, S.Pd, M.Pd.
Dharma Yatra mempunyai pengertian yang hampir sama
dengan Tirta Yatra yakni usaha untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan
ajaran Agama Hindu melalui kunjungan untuk persembahyangan ketempat-tempat
suci, patirtan baik yang bertempat di pegunungan atau di tepi pantai. Tujuan
dari Dharma Yatra ini untuk meningkatkan kesucian pribadi serta keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi Wasa, melihat/ memperluas cakrawala memandang
keagungan-Nya, mengagumi alam semesta dan ciptaannya sehingga semakin teguh
untuk mengamalkan ajaran dharma.
Dalam kegiatan Dharma Yatra ini selain melaksanakan
persembahyangan kami juga berencana melaksanakan pembersihan di areal pura. Ini
merupakan bentuk bakti sosial yang di adakan agar Pura tetap terlihat bersih
dan sakral.
Adapun laporan pertanggung
jawaban dari kegiatan Dharma Yatra ini
adalah :
TOTAL PENGELUARAN :
Rp. 4.201.000
DANA YANG DITERIMA :
120.000,-
x 36 peserta : Rp. 4.320.000
KEPERLUAN
:
KEROHANIAN :
Rp. 434.500
PUDEKDOK :
Rp. 50.000
KONSUMSI :
Rp. 687.500
PERLENGKAPAN & TRANSPORTASI :
Rp. 2.727.000
KEAMANAN & PP :
Rp. 49.000
LAIN – LAIN :
Rp. 253.000 +
TOTAL : Rp. 4.201.000
KEROHANIAN
|
||||
No.
|
Pengeluaran
|
Satuan
|
Harga
|
Total
|
1
|
Banten Matur Piuning
|
1
|
Rp
325,000.00
|
Rp
325,000.00
|
2
|
Rokok Bentol
|
1
|
Rp
12,000.00
|
Rp
12,000.00
|
3
|
Permen
|
1
|
Rp
5,000.00
|
Rp
5,000.00
|
4
|
Korek
|
1
|
Rp
500.00
|
Rp
500.00
|
5
|
Canang
|
1
|
Rp
17,500.00
|
Rp
17,500.00
|
6
|
Bunga
|
1
|
Rp
10,000.00
|
Rp
10,000.00
|
7
|
Dupa
|
1
|
Rp
19,500.00
|
Rp
19,500.00
|
8
|
Benang
|
1
|
Rp
45,000.00
|
Rp
45,000.00
|
Total
|
Rp
434,500.00
|
|||
PUDEKDOK
|
||||
No.
|
Pengeluaran
|
Satuan
|
Harga
|
Total
|
1
|
Cetak Spanduk
|
1
|
Rp
40,000.00
|
Rp
40,000.00
|
2
|
Lakban
|
1
|
Rp
10,000.00
|
Rp
10,000.00
|
Total
|
Rp
50,000.00
|
|||
KONSUMSI
|
||||
No.
|
Pengeluaran
|
Satuan
|
Harga
|
Total
|
1
|
Snack Bungkus
|
40
|
Rp
2,500.00
|
Rp
100,000.00
|
2
|
Snack Kotak
|
3
|
Rp
3,500.00
|
Rp
10,500.00
|
3
|
Nasi Bungkus
|
76
|
Rp
6,000.00
|
Rp
456,000.00
|
4
|
Nasi Vegetarian
|
4
|
Rp
7,000.00
|
Rp
28,000.00
|
5
|
Nasi Kotak
|
2
|
Rp
12,500.00
|
Rp
25,000.00
|
6
|
Yeh Buleleng
|
4
|
Rp
17,000.00
|
Rp
68,000.00
|
Total
|
Rp
687,500.00
|
|||
PERLENGKAPAN & TRANSPORTASI
|
||||
No.
|
Pengeluaran
|
Satuan
|
Harga
|
Total
|
1
|
Biaya Obsevasi
|
1
|
Rp
150,000.00
|
Rp
150,000.00
|
2
|
Bus
|
1
|
Rp2,400,000.00
|
Rp2,400,000.00
|
3
|
Uang Transportasi Motor
|
1
|
Rp
50,000.00
|
Rp
50,000.00
|
4
|
Plastik Besar
|
25
|
Rp
1,000.00
|
Rp
25,000.00
|
5
|
Sapu Lidi
|
5
|
Rp
5,000.00
|
Rp
25,000.00
|
6
|
Kain kasa
|
10m
|
Rp
5,000.00
|
Rp
50,000.00
|
7
|
Tedung
|
1
|
Rp
27,000.00
|
Rp
27,000.00
|
Total
|
Rp2,727,000.00
|
|||
KEAMANAN & PP
|
||||
No.
|
Pengeluaran
|
Satuan
|
Harga
|
Total
|
1
|
Antimo
|
2
|
Rp
5,000.00
|
Rp
10,000.00
|
2
|
Fresh Care
|
1
|
Rp
12,000.00
|
Rp
12,000.00
|
3
|
Promag
|
1
|
Rp
5,000.00
|
Rp
5,000.00
|
4
|
Bodrex
|
1
|
Rp
2,000.00
|
Rp
2,000.00
|
5
|
Plastik
|
2
|
Rp
10,000.00
|
Rp
20,000.00
|
Total
|
Rp
49,000.00
|
|||
LAIN - LAIN
|
||||
No.
|
Pengeluaran
|
Satuan
|
Harga
|
Total
|
1
|
Dana Punia
|
4
|
Rp
25,000.00
|
Rp
100,000.00
|
2
|
Fotokopi Buku Sejarah Pura
|
1
|
Rp
153,000.00
|
Rp
153,000.00
|
Total
|
Rp
253,000.00
|
Sisa
Dana
: 119.000 ,-
Sehari
sebelum kegiatan Dharma Yatra ini dilaksanakan banyak kegiatan yang di lakukan
oleh kelas II/C dan II/H terutama dalam mempersiapkan segala yang akan
dibutuhkan pada saat Dharma Yatra itu berlangsung.
Hal-hal
yang disiapkan antara lain:
1. Alat-alat
persembahyangan
2. Alat-
alat pembersihan
3. Konsumsi
4. Obat-obatan
Pukul
08.00 tanggal 23 Maret 2014 , peserta
berangkat dari kampus Undiksha menuju Pura Teluk Terima, setelah kira kira 2
jam peserta Dharma Yatra akhirnya tiba di Pura Teluk Terima kemudian peserta
menyiapkan alat persembahyangan dan segera menuju Pura yang letaknya agak
tinggi dan lumayan jauh dari tempat parkir. Setelah selesai bersembahyang kami menyempatkan
diri untuk berfoto.
Kami
melanjutkan perjalanan ke Pura Pulaki, setibanya di pura pulaki kami bergegas
melaksanakan persembahyangan, uniknya di pura Pulaki banyak kera-kera yang
tinggal di areal Pura. Kera-kera yang ada di areal pura tersebut sudah terkenal
dengan kejailan dan kenakalannya. Kamipun bergegas untuk cepat-cepat
bersembahyang. Setelah bersembahyang di Pura Pulaki kami melanjutkan
persembahyangan ke Pura Pabean. Pura Pabean tersebut jaraknya tidak terlalu
jauh dari Pura Pulaki sehingga untuk menuju ke Pura Pabean tersebut kami hanya
berjalan kaki. Pura Pabean ini terletak di pinggir pantai sehingga pemandangan
yang kami lihat sangat bagus dan memukau. Meskipun pura ini berada dekat dengan
Pura Pulaki namun kera-kera di Pura ini tidak sebanyak kera yang ada di Pura
Pulaki. Seusai sembahyang kami bergegas menuju ke bus dan langsung berangkat ke
Pura Melanting.
Tibanya
di Pura Melanting kira-kira pukul 11.30 kami langsung membuka konsumsi dan
makan siang di Wantilan Jaba Pura Melanting tersebut. Setelah makan siang kami melanjutkan
persembahyangan ke Pura Pasar Agung yang ada di Areal Pura Melanting, setelah
sembahyang di Pura Pasar Agung kami bergegas menuju Pura Kaca. Pura Kaca ini
memiliki mitos mengenai kecantikan. Banyak peserta Dharma Yatra membawa
alat-alat kecantikan seperti make up,handbody lotion, parfum,lipstick,dll untuk
di pasupati. Di Pura Kaca terdapat banyak batu, salah satu batu tersebut
berbentuk seperti wajah seorang wanita. Di batu yang berbentuk wajah tersebut
di olesi berbagai alat-alat kecantikan yang sudah dipasupati oleh pemangku di
Pura Kaca Tersebut. Di Pura Kaca ini kami mapunia Tedung Putih dan Kuning serta
kain kasa putih dan kuning juga.
Setelah
bersembahyang di Pura Kaca kami melanjutkan persembahyangan ke Pura Melanting,
persembahyang kami di Pura Melanting sangat khusyuk. Setelah sembahyang kami
melaksanakan bakti sosial (pembersihan) di sekitar Pura Melanting dan di Pura
Pasar Agung.
Setelah
melaksanakan persembahyangan kami bergeas menuju bus dan bersiap untuk
pulang. Pukul 15.30 kami sudah sampai di
kampus Undiksha. Dan bergegas untuk pulang ke kos dan rumah masing-masing.
Sejarah Pura Teluk Terima
Pura Jaya
Prana atau Pura Bhatara Sakti Wawu Rawuh atau yang lebih akrab dikenal sebagai
Pura Teluk Terima adalah sebuah pura yang terletak di tengah kawasan Taman
Nasional Bali Barat, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng – Bali. Pura
ini dapat ditempuh sekitar 4-5 jam perjalanan dengan menggunakan mobil/motor
dari kota Denpasar. Setelah sampai di lokasi, kita harus berjalan kaki menaiki
tangga sekitar satu km untuk mencapai areal Pura Jaya Prana tersebut. Jika baru
pertama kali kesana, akan terasa cukup melelahkan.
Keberadaan
Pura Jaya Prana ini tidak terlepas dari kisah legenda cinta sepasang manusia
yang harus berakhir menyedihkan. Banyak menganggap kisah percintaan ini seperti
Romeo dan Juliet versi Bali. Adalah seorang pemuda yang bernama Nyoman Jaya
Prana. Dia adalah seorang yatim piatu. Sejak kecil, Jaya Prana menjadi abdi
Raja di Kerajaan Kalianget. Karena kesungguhan dan ketulasan Jaya Prana mengabdi
pada Sang Raja, Jaya Prana pun menjadi abdi kesayangan Raja.
Setelah
tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, Raja meminta Jayaprana
untuk menikahi seorang gadis. Akhirnya setelah lama mencari, ia pun menjumpai
seorang gadis cantik yang bernama Layonsari, putri seorang kepala desa. Kedua
insan muda tersebut, saling jatuh cinta, dan atas ijin raja, pernikahan
Jayaprana dan Layonsari digelar. Seuasai acara pernikahan dilaksanakan,
Jayaprana dan Layonsari keesokan harinya menghadap raja untuk memohon doa
restu. Alangkah terkejutnya raja, melihat kecantikan Layonsari. Sejak saat
itulah, munculah niat Sang Raja untuk merebut Layonsari dari dekapan Nyoman
Jayaprana. Kemudian Raja mengadakan rapat dengan beberapa patih untuk meminta
pertimbangan agar bisa mendapatkan Layonsari. Atas usul Patih Saungguling, Raja
diminta untuk memberi perintah kepada Jayaprana untuk pergi ke sisi barat
daerah kerajaan membasmi para perampok.
Di tengah
suasana bulan madu, Jayaprana harus terpaksa meninggalkan istrinya untuk
melaksanakan tugas dari Raja. Dengan diselimuti firasat buruk, Layonsari dengan
berat hati memberikan ijin kepada suaminya untuk pergi beberapa hari.
Ditengah
hati yang cemas, Jayaprana pergi bersama Patih Saunggaling diiringi oleh
beberapa prajurit. Akhirnya mereka tiba di kawasan hutan di dekat Pura Teluk
Terima. Secara diam-diam Patih Saunggaling menusuk Jayaprana dengan kerisnya.
Namun kesaktian Jayaprana membuat tubuhnya tidak terluka sedikit pun. Jayaprana
terkejut atas ulah Patih Saunggaling, ia kemudian bertanya maksud si Paman
Patih. Patih Saunggaling akhirnya menceritakan latar belakang tindakannya
tersebut, semua adalah keinginan dari Sang Raja. Setelah memahami situasi yang
sedang terjadi, Jayaprana kemudian mengizinkan Patih Saunggaling untuk menusuk
tubuhnya. Jayaprana menganggap bahwa orang yang telah membesarkan dirinya
adalah Raja, maka Raja juga berhak mencabut nyawanya. Mayat Jayaprana dikubur
di hutan tersebut, Patih Saunggaling dan rombongan prajurit pulang kembali ke
istana. Raja lalu mengumumkan kepada warga istana bahwa Jayaprana tewas di
tangan perampok. Layonsari sangat terpukul mendengar kabar tersebut, ia merasa
ada yang janggal dari kejadian tersebut. Setelah melakukan tipu daya tersebut, Raja
berusaha menghibur hati Layonsari dan memaksa ia untuk menjadi istri
raja. Layonsari kemudian menyadari bahwa yang sebenarnya membunu’h
suaminya adalah Raja, akhirnya dengan menggunakan keris Sang Raja, Layonsari
melakukan bunu’h diri. Kematian Layonsari membuat Raja menjadi gila, ia kemudian
menusuk semua orang yang ada di sekelilingnya. Kekacauan terjadi, dan
terjadilah perang saudara yang akhirnya memusnahkan kerajaan tersebut untuk
selama-lamanya.
Itulah
sekilas cerita Jayaprana dan Layonsari yang menjadi inti dalam keberadaan Pura
Jayaprana. Banyak warga di seluruh Bali dan juga dari Jawa yang datang ke pura
ini. Mereka berharap agar apa yang menjadi tujuannya bisa terkabulkan.
Adapun tiga
permintaan yang sering dipanjatkan oleh umat yang datang ke pura ini, selain
untuk memohon keselamatan adalah :
1. Memohon
agar Diberikan Jodoh
Banyak
pemuda-pemudi yang datang ke pura in selain untuk memanjatkan rasa bakti adalah
berharap agar mendapatkan jodoh. Selain itu, bagi sepasang kekasih berharap
agar hubungan cinta mereka dapat terjalin abadi.
2. Memohon
agar Usaha / Bisnis Berjalan Sukses
Bagi warga
Bali yang memiliki usaha dagang, pura ini adalah tempat yang baik untuk memohon
kelancaran bisnis/usaha. Banyak wiraswasta yang datang dan berdoa ke sini pada
hari purnama.
3. Memohon
untuk Diberikan Anak
Menurut
kepercayaan, di Pura Jayaprana ini berstana Dewa/Dewi Kesuburan. Para pasangan
suami – istri yang belum memiliki keturunan dapat berdoa dan memohon di pura
ini agar dianugrahkan putra atau putri yang cantik (Saya juga sudah membuktikannya).
Itulah tiga
macam doa yang sering dipanjatkan di Pura Jayaprana. Jika Anda berlibur atau
berwisata di kawasan Bali Barat, maka Anda dapat mengunjungi tempat ini sambil
menikmati kawasan Taman Nasional Bali Barat.
Pura Pabean
Pura ini terletak di seberang jalan Pura Pulaki, yakni
di Pantai Pulaki, agak menjorok ke arah laut. Pura ini merupakan salah satu
dari lima buah pura yang ada di kawasan Pulaki, yang seluruhnya merupakan stana
"Pesanakan Ida Batara Sami" yaitu pesanakan Ida Batara Pulaki, Ida
Batara Melanting, Ida Batara Kertaning Jagat (di Desa Banyu Poh), Ida Batara
Mutering Jagat (di Dusun Yeh Panes - Pemuteran), dan Ida Batara Pabean. Kata
pabean sendiri diperkirakan berasal dari suku kata bea, diimbuhi awal pa dan
akhiran an. Sehingga pabean bisa diartikan sebagai tempat aktivitas yang
berhubungan dengan pengenaan bea-cukai bagi para pelayar yang membawa barang
dagangannya ke Bali. Intinya, tentu ada kaitannya dengan tempat berlabuh
kapal-kapal asing pada zaman dulu.
Pelabuhan-pelabuhan
penting Bali
Kuno
di Bali Utara seperti Pabean Buleleng dan Pabean Sangsit dikendalikan dan
dipengaruhi oleh pedagang terkemuka, sekalian merangkap sebagai pejabat militer
Cina.
Di
Pabean Buleleng pejabat itu berpangkat Kapitain (tidak jelas namanya),
dan seorang berpangkat Mayor yang bernama Kho Bun Sing sebagai penguasa di
Pabean Sangsit.
Perkawinan
Raja Sri Jayapangus dengan seorang wanita Cina, dipuja-puja rakyatnya. Bentuk
pemujaan ini dengan menstanakan Bhatari Cina di Pura Ulun Danu Batur,
Bhatari Ratu Subandar di Pura
Besakih, dan symbol-symbol lain misalnya adanya barong
landung lanang wadon yang merupakan replika Sri Jayapangus
dan permaisurinya.
Kebudayaan
dan ceritra-ceritra rakyat Cina-pun menyebar di Bali, misalnya kisah Sampik –
Ing Tay. Ilmu silat dari Cina juga berkembang di Bali Kuna dalam bentuk pencak,
dan dalam bentuk tarian masal misalnya : baris dapdap, baris demung, baris
presi, baris tumbak, baris tamiang, dan lain-lain.
Dibidang
kemiliteran, tentara Bali Kuno mulai mengenal senjata-senjata jenis panah, tombak,
pedang dan perisai (tamiang) yang lebih berkwalitas karena dibuat dari baja
yang halus dan tajam. Industri peleburan baja belum ada di Bali. Oleh karena
itu senjata-senjata jenis itu kebanyakan diimpor dari Cina.
Pakaian-pakaian
mahal yang digunakan oleh Raja-Raja dan kaum bangsawan berbahan sutera (kain
pere) yang dibeli dari saudagar-saudagar Cina. Sejenis kertas buatan Cina yang
dinamakan kertas ulan
taga,
di Bali Kuna disakralkan, hanya digunakan sebagai salah satu sarana penting
dalam upacara
ngaben.
Perkawinan
campuran antara orang-orang Cina dengan penduduk asli banyak terjadi. Orang
Cina yang sudah membaur menjadi penduduk Bali biasanya menggunakan nama
kombinasi Cina-Bali, misalnya : Babah Ketut, Babah Nyoman, dll.
Dikalangan
bangsawan dan saudagar kaya, dikenal nama-nama yang berbau Cina, misalnya : Kho
Cin Bun (yang menetap di Desa Sinabun), Kho Ping Gan (yang menetap di Desa
Pinggan – Kintamani), Ma Sui La dan Ma Sui Lie, anak-anak kembar buncing dari
Kho Ping Gan (oleh orang Bali dinamakan Masula – Masuli), keluarga Beng
Kui Lun yang menetap di Desa
Adat
Bungkulan, dan keluarga Ma Pa Cung yang menetap di Desa Pacung.
Pura Pulaki
|
Sulit
ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut
sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius
dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas,
seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke
pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak.
Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan
pada aura religius yang dirasakannya.
Pura
Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di
latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya
sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa,
teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi
pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu
memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus
bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup
di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik
tersendiri.
Pura
Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53
kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan
raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah
untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau
sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa
datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat.
Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari
berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa
dirunut dari zaman prasejarah.
Ketua
Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan,
jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak
zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana
para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura
Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep
pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai
sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak.
Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi.
"Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau
Bali ini," kata Simba.
Di kawasan
Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat
perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk
kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan
struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya
berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk
bangunan berundak.
Di sisi
lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan
memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah
didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai
dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat
diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan,
kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk
barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula
dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar
di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari
uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah,
baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya.
Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343
Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa
tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju
desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut
Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte
Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa
Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa.
Data lain
yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa''
karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku,
diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci
menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut
yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda
pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus.
Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."
Data lain
tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti
candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987.
Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat
suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang
Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489
Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup
lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis
kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun.
Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran
Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai
tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga
dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri
Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan
putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut
naga di Pulaki.
Dipugar
Suatu
daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan
hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya.
Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di
sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan
naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi,
sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki
yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu,
Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat
yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat
pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat
ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke
pedalaman," katanya.
Tahun 1920
Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh
pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan
itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan
pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura
Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Menurut
Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura
Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan.
Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu
termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7
lapisan alam semesta.
Pulaki dan
Sumsum Tulang Itik
Sejarah
Pura Pulaki tak bisa dilepaskan dari tempat-tempat pemujaan lainnya di Bali.
Menurut Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba,
Buleleng terletak di antara gunung dan laut. Karena jarak pegunungan dan laut
sangat dekat maka datarannya yang dimiliki sangat sempit. Ini disebut wilayah
nyegara-gunung, suatu daerah yang penuh dengan pusat spiritual dan tempat
pemujaan, baik di gunung maupun di tepi laut.
Ketut
Simba menjelaskan, bentuk Pulau Bali itu tak ubahnya seperti seekor itik.
Kepala menghadap ke barat berhadapan dengan Jawa, punggung ke utara
berhadapan dengan laut Jawa dan Laut Bali, ekornya ke timur menghadap ke
Lombok. Sementara leher, tembolok, dada, perut, berhadapan dengan Samudera
Hindia. Di bagian punggung Pulau Bali terbentang sederetan daerah pegunungan
dari barat, daerah Desa Cekik hingga ke timur di Lempuyang Karangasem
sehingga Bali seolah dibelah menjadi dua. Bali Selatan dan Denbukit. Denbukit
juga dibagi dua, di mana bagian barat biasa disebut dauh enjung dan dangin
enjung, di mana batasnya adalah enjung sanghyang.
Ekor itik
ini punya makna bahwa Bali punya nilai kesucian yang sangat tinggi. Karena
itik binatang suci, terbukti jika orang membikin banten (aturan suci),
terutama suci gede, maka binatang ini adalah sarana yang sangat menentukan
kesucian banten tersebut. Begitu pula pegunungan yang memanjang dari barat ke
timur adalah punggung itik, di mana pada tulang punggung mengandung sumsum
dan unsur kehidupan pada dimensi spiritual. "Pada tempat inilah
ditemukan garis kundalini," katanya.
Pura-pura
yang ditemukan di sepanjang pantai antara lain Pura Bakungan, Pura Teluk
Terima, Labuhan Lalang, Pura Gede Pengastulan, Labuhan Aji, Celuk Agung,
Penimbangan, Beji, Puradalem Puri, Gambur Anglayang, Kerta
Negara Mas, Pojok Batu, Pura
Pulaki dengan pesanakannya dan pura lainnya. Sedangkan di pegunungan dari
barat ke timur ada Pura Pucak Manik, Pura Bujangga, Asah Danu, Batukaru,
Tamblingan, Puncak Mangu, Bukit
Sinunggal, Indrakila, Penulisan, Besakih, Gunung Andakasa, Lempuyang dan
lain-lain.
Nah, Pura
Pulaki yang dibangun pada tempat perpaduan antara daerah pegunungan dan laut
atau teluk. Maka tata letak, struktur dan lingkungan Pura Pulaki ini
ditemukan unsur antara segara dan gunung yang menyatu.
|
PURA
MELANTING
Kisah
Pura Melanting cukup menarik. Percaya atau tidak, kisah mistik ini masih sering
dibicarakan sampai saat ini. Pura Melanting adalah salah satu Pura yang
dibangun untuk memperingati kunjungan seorang Pendeta Hindu dari Pulau Jawa,
yaitu Danghyang Nirartha. Pura ini diyakini menjadi tempat di mana putri
sulungnya, Ida Swabawa, berstana disini.
Pura
ini berada di tengah hutan di kaki bukit Pemuteran, Bali Utara. Sebuah tempat
parkir besar tersedia bagi pengunjung dan beberapa berjejer warung-warung di
daerah sekitarnya menyediakan minuman dan makanan ringan. Suasana hutan yang
agak sepi telah berubah menjadi sedikit ramai dengan lampu-lampu jalan yang
membentang di sisi-sisi jalan dan tempat parkir. Untuk mencapai daerah ini dari
jalan utama Pemuteran, terdapat jalan sempit melewati suatu hutan kecil dan
rumah-rumah para penduduk. Dari tempat parkir anda dapat melihat tangga, dan
kita perlu memanjat masuk ke dalam kompleks Pura. Dua patung naga besar menghiasi gerbang utama dan
dari bawah tangga Pura akan tampak megah. Dalam perjalanan ke gerbang utama ada
sebuah tempat kecil di mana orang-orang akan berdoa menempatkan Banten mereka
dan mendapatkan air suci untuk membersihkan pikiran mereka sebelum mereka pergi
lebih jauh ke bagian utama.
Seperti
kebanyakan Pura di Bali, setelah kita memasuki gerbang utama Pura di mana orang
tengah melakukan persiapan untuk Banten-Banten mereka. Setelah itu terdapat
bagian utama tempat berdirinya Pura-Pura yang besar dan indah. Bangunan Pura
ini dibangun kembali oleh pemerintah dan didesain ulang oleh seorang arsitek
terkemuka Bali, Ida Bagus Tugur. Ketenangan tempat ini menciptakan suasana yang
sempurna bagi orang-orang untuk memanjatkan doa-doa mereka dan juga untuk
bermeditasi. Beberapa orang datang pada waktu malam hari terutama untuk
melakukan meditasi. Pemandangan yang dapat dilihat dari Pura sangant luar
biasa, perbukitan hijau yang mengelilingi Pura, dan dari bagian utama Pura kita
dapat melihat Laut Jawa yang berwarna biru. Angin dingin dan suara dari makhluk
hidup yang berada di hutan sangat menenangkan jiwa. Para Pemangku, yang
mengurus Pura sangat ramah kepada pengunjung. Mereka memiliki bagian informasi
di mana anda bisa menyewa kamben dan mendapatkan beberapa informasi tentang
Pura ini. Masyarakat Hindu, yang datang untuk berdoa di Pura ini, tidak hanya
dari daerah lokal saja, namun dari seluruh Bali dan juga dari pulau luar Bali.
Kegiatan keagamaan di Pura ini berlangsung siang dan malam. Di malam hari
suasana di Pura akan menjadi lebih mistis dan misterius.
Fungsi
Pura Melanting Bagi Masyarakat Hindu di Bali
Masyarakat
Hindu di Bali adalah masyarakat yang sosial religius, yang selalu berhubungan
erat dengan alam Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), sehingga banyak dijumpai
pura-pura sebagai tempat pemujaan terhadap manifestasiNya yang sesuai dengan
fungsinya bagi masyarakat Hindu seperti pelinggih, penunggun karang, pura
dadia, sanggah kemulan, pura khayangan tiga dan lain-lain. Pura Melanting
adalah salah satu pura yang bersifat fungsional sebagai tempat dari pemujaan
Bhatari Melanting. Bhatari Melanting dapat disejajarkan dengan Dewa Kwera
(dewanya uang) yang di Bali lebih dikenal dengan sebuah Bhatari Rambut Sedana.
Adapun yang berwujud sebagai Bhatari Melanting adalah Ida Ayu Subawa yaitu
putri dari Dang Hyang Nirarta yang telah berubah wujud. Pura Melanting terletak
di pojok timur laut, mengarah ke pasar dan ada juga Pura Melanting itu terletak
di tengah-tengah pasar. Yang memuja dan yang bertanggung jawab terhadap Pura
Melanting adalah orang-orang yang terlibat didalam kegiatan pasar, baik
pedagang, maupun buruh bertanggung jawab terhadap Pura Melanting beserta
piodalannya..
Pura
Melanting adalah termasuk aspek agama dan kebudayaan yang sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan masyarakat untuk menyediakan Bhoga, Upa Bhoga dan
Pari Bhoga, menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Pasar adalah salah
satu tempat untuk beraktifitas untuk mengejar Jagathita (kebahagiaan jasmani)
seperti tempat menyediakan bahan sandang, pangan dan papan dan tidak
mengabaikan kepentingan rohani dengan pura Melantingnya. Dengan adanya kemajuan
teknologi pasar telah banyak mengalami perubahan-perubahan baik dari sarana
prasarananya namun dengan demikian juga halnya keadaan pura Melanting dari
bentuk sederhana menuju bentuk yang lebih permanen. Walaupun demikian tidak
merubah fungsi terhadap pura melainkan tetap mempertahankan fungsinya
sebagaimana mestinya oleh masyarakat Hindu dan nilai-nilai keagamaannya sama
sekali tidak luntur terbukti masih adanya kepercayaan kepada Bhatari Melanting.
Hal ini pula menjadikan salah satu gaya tarik pulau Bali terhadap para
wisatawan.
Fungsi Pura Melanting Dalam Hubungannya dengan Pasar
Antara
Pura Melanting dengan pasar mempunyai hubungan yang sifatnya saling tunjang
menunjang sehingga terwujudnya jual beli antara para pedagang dengan pembeli
baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Definisi Pura Melanting
Pura
Melanting adalah merupakan salah satu tempat pemujaan umat Hindu di Bali. Pura
tersebut bersifat fungsional sebagai stana (pelinggih) Bhatari Melanting.
Bhatari Melanting dari segi niskala sebagai kepala pimpinan "Wong
Samar" yang menguasai seluruh jagat raya ini, sedangkan ditinjau dari segi
rohani beliau bertugas melindungi/mengayomi para pedagang dan memberikan
keselamatan warga masyarakat pada setiap Bale Banjar dan setiap pasar-pasar yang
ada di Bali.
Arti dan
Pengertian Melanting
Pura
Melanting adalah merupakan tempat para pedagang untuk memohon keselamatan,
ketentraman lahir batin sehingga pada saat berdagang dapat memperoleh
keuntungan sesuai dengan yang diinginkan. Pura Melanting pada umumnya didirikan
di dalam setiap pasar di Bali.
Kata
Melanting berasal dari kata mel dan anting. Kata mel berarti kebun, di samping
itu kata mel berarti sifat tidak ramah, berat mulut, mel juga berarti lembab.
Sedangkan kata anting berarti batu. Dari kata anting menimbulkan kata
anting-anting yang artinya:
- Perhiasan telinga yang terbuat dari emas.
- Batu seperti bandul.
- Burung anting (nama burung).
Jadi dapat disimpulkan
bahwa kata Melanting dapat dipisahkan menjadi kata "mel" dan kata
"anting". Mel berarti kbun dan anting berarti bergantungan pada tali.
Melanting adalah suatu tempat persembahan hasil bumi yang dipersembahkan kehadapan
Ida Ayu Swabawa sebagai Bhatari Melanting (Dewa yang menguasai pasar). Pasar
adalah tempat pertemuan antara penjual dengan pembeli untuk mengadakan tawar
menawar (transaksi) sehingga terdapat persetujuan kedua belah pihak. Melanting
adalah tempat persembahan/persembahyangan untuk menghaturkan segala hasil bumi
sebagai ucapan terima kasih kehadapan Bhatari Melanting yang beristana di sana
serta memohon keselamatan sehingga tidak diganggu oleh wong samar.
Beberapa
meternya terdapat pura kaca yang dimana kalau bersembahayang disana menggunakan
alat-alat makeup atau parfum diyakini dalam pura ini memeng sangat berbeda
dengan pura-purayang lainnya kita bisa langgsung memakai alat-alat makeup atau
parfum tersebut setelah melakukan persembahyangan dengan bahasa balinya memasupati.
No comments:
Post a Comment