Monday, 16 June 2014

Laporan Dharma Yatra



Dharma Yatra yang di selenggarkan pada hari Minggu, 23 Maret 2014 dilaksanakan dalam memenuhi tugas Pendidikan Agama Hindu. Kegiatan Dharma Yatra ini di ikuti oleh kelas II/C dan kelas II/H Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha dan di dampingi oleh dosen pengampu mata kuliah pendidikan Agma Hindu yaitu Bapak  I Wayan Widiana, S.Pd, M.Pd.
Dharma Yatra mempunyai pengertian yang hampir sama dengan Tirta Yatra yakni usaha untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Agama Hindu melalui kunjungan untuk persembahyangan ketempat-tempat suci, patirtan baik yang bertempat di pegunungan atau di tepi pantai. Tujuan dari Dharma Yatra ini untuk meningkatkan kesucian pribadi serta keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi Wasa, melihat/ memperluas cakrawala memandang keagungan-Nya, mengagumi alam semesta dan ciptaannya sehingga semakin teguh untuk mengamalkan ajaran dharma.
Dalam kegiatan Dharma Yatra ini selain melaksanakan persembahyangan kami juga berencana melaksanakan pembersihan di areal pura. Ini merupakan bentuk bakti sosial yang di adakan agar Pura tetap terlihat bersih dan sakral.
Adapun laporan pertanggung jawaban dari kegiatan Dharma Yatra  ini adalah :

TOTAL PENGELUARAN                                                       : Rp. 4.201.000
DANA YANG DITERIMA :
120.000,-  x  36 peserta                                                  : Rp. 4.320.000

KEPERLUAN :
KEROHANIAN                                                                          : Rp. 434.500
                     PUDEKDOK                                                                               : Rp. 50.000
                     KONSUMSI                                                                                 : Rp. 687.500
PERLENGKAPAN & TRANSPORTASI                                 : Rp. 2.727.000
KEAMANAN & PP                                                                     : Rp. 49.000
LAIN – LAIN                                                                               : Rp. 253.000     +
TOTAL                                                                           : Rp. 4.201.000

KEROHANIAN
No.
Pengeluaran
Satuan
Harga
Total
1
Banten Matur Piuning
1
 Rp   325,000.00
 Rp   325,000.00
2
Rokok Bentol
1
 Rp     12,000.00
 Rp     12,000.00
3
Permen
1
 Rp       5,000.00
 Rp       5,000.00
4
Korek
1
 Rp          500.00
 Rp          500.00
5
Canang
1
 Rp     17,500.00
 Rp     17,500.00
6
Bunga
1
 Rp     10,000.00
 Rp     10,000.00
7
Dupa
1
 Rp     19,500.00
 Rp     19,500.00
8
Benang
1
 Rp     45,000.00
 Rp     45,000.00
Total
 Rp   434,500.00


PUDEKDOK
No.
Pengeluaran
Satuan
Harga
Total
1
Cetak Spanduk
1
 Rp     40,000.00
 Rp     40,000.00
2
Lakban
1
 Rp     10,000.00
 Rp     10,000.00
Total
 Rp     50,000.00

KONSUMSI
No.
Pengeluaran
Satuan
Harga
Total
1
Snack Bungkus
40
 Rp       2,500.00
 Rp   100,000.00
2
Snack Kotak
3
 Rp       3,500.00
 Rp     10,500.00
3
Nasi Bungkus
76
 Rp       6,000.00
 Rp   456,000.00
4
Nasi Vegetarian
4
 Rp       7,000.00
 Rp     28,000.00
5
Nasi Kotak
2
 Rp     12,500.00
 Rp     25,000.00
6
Yeh Buleleng
4
 Rp     17,000.00
 Rp     68,000.00
Total
 Rp   687,500.00

PERLENGKAPAN & TRANSPORTASI
No.
Pengeluaran
Satuan
Harga
Total
1
 Biaya Obsevasi
1
 Rp   150,000.00
 Rp   150,000.00
2
Bus
1
 Rp2,400,000.00
 Rp2,400,000.00
3
Uang Transportasi Motor
1
 Rp     50,000.00
 Rp     50,000.00
4
Plastik Besar
25
 Rp       1,000.00
 Rp     25,000.00
5
Sapu Lidi
5
 Rp       5,000.00
 Rp     25,000.00
6
Kain kasa
10m
 Rp       5,000.00
 Rp     50,000.00
7
Tedung
1
 Rp     27,000.00
 Rp     27,000.00
Total
 Rp2,727,000.00

KEAMANAN & PP
No.
Pengeluaran
Satuan
Harga
Total
1
Antimo
2
 Rp       5,000.00
 Rp     10,000.00
2
Fresh Care
1
 Rp     12,000.00
 Rp     12,000.00
3
Promag
1
 Rp       5,000.00
 Rp       5,000.00
4
Bodrex
1
 Rp       2,000.00
 Rp       2,000.00
5
Plastik
2
 Rp     10,000.00
 Rp     20,000.00
Total
 Rp     49,000.00
LAIN - LAIN
No.
Pengeluaran
Satuan
Harga
Total
1
Dana Punia
4
 Rp     25,000.00
 Rp   100,000.00
2
Fotokopi Buku Sejarah Pura
1
 Rp   153,000.00
 Rp   153,000.00
Total
 Rp   253,000.00

Sisa Dana                                                                               : 119.000 ,-
         
Sehari sebelum kegiatan Dharma Yatra ini dilaksanakan banyak kegiatan yang di lakukan oleh kelas II/C dan II/H terutama dalam mempersiapkan segala yang akan dibutuhkan pada saat Dharma Yatra itu berlangsung.
Hal-hal yang disiapkan antara lain:
1.      Alat-alat  persembahyangan
2.      Alat- alat pembersihan
3.      Konsumsi
4.      Obat-obatan
Pukul 08.00 tanggal 23 Maret 2014  , peserta berangkat dari kampus Undiksha menuju Pura Teluk Terima, setelah kira kira 2 jam peserta Dharma Yatra akhirnya tiba di Pura Teluk Terima kemudian peserta menyiapkan alat persembahyangan dan segera menuju Pura yang letaknya agak tinggi dan lumayan jauh dari tempat parkir. Setelah selesai bersembahyang kami menyempatkan diri untuk berfoto. 
Kami melanjutkan perjalanan ke Pura Pulaki, setibanya di pura pulaki kami bergegas melaksanakan persembahyangan, uniknya di pura Pulaki banyak kera-kera yang tinggal di areal Pura. Kera-kera yang ada di areal pura tersebut sudah terkenal dengan kejailan dan kenakalannya. Kamipun bergegas untuk cepat-cepat bersembahyang. Setelah bersembahyang di Pura Pulaki kami melanjutkan persembahyangan ke Pura Pabean. Pura Pabean tersebut jaraknya tidak terlalu jauh dari Pura Pulaki sehingga untuk menuju ke Pura Pabean tersebut kami hanya berjalan kaki. Pura Pabean ini terletak di pinggir pantai sehingga pemandangan yang kami lihat sangat bagus dan memukau. Meskipun pura ini berada dekat dengan Pura Pulaki namun kera-kera di Pura ini tidak sebanyak kera yang ada di Pura Pulaki. Seusai sembahyang kami bergegas menuju ke bus dan langsung berangkat ke Pura Melanting.
Tibanya di Pura Melanting kira-kira pukul 11.30 kami langsung membuka konsumsi dan makan siang di Wantilan Jaba Pura Melanting tersebut. Setelah makan siang kami melanjutkan persembahyangan ke Pura Pasar Agung yang ada di Areal Pura Melanting, setelah sembahyang di Pura Pasar Agung kami bergegas menuju Pura Kaca. Pura Kaca ini memiliki mitos mengenai kecantikan. Banyak peserta Dharma Yatra membawa alat-alat kecantikan seperti make up,handbody lotion, parfum,lipstick,dll untuk di pasupati. Di Pura Kaca terdapat banyak batu, salah satu batu tersebut berbentuk seperti wajah seorang wanita. Di batu yang berbentuk wajah tersebut di olesi berbagai alat-alat kecantikan yang sudah dipasupati oleh pemangku di Pura Kaca Tersebut. Di Pura Kaca ini kami mapunia Tedung Putih dan Kuning serta kain kasa putih dan kuning juga.
Setelah bersembahyang di Pura Kaca kami melanjutkan persembahyangan ke Pura Melanting, persembahyang kami di Pura Melanting sangat khusyuk. Setelah sembahyang kami melaksanakan bakti sosial (pembersihan) di sekitar Pura Melanting dan di Pura Pasar Agung. 
Setelah melaksanakan persembahyangan kami bergeas menuju bus dan bersiap untuk pulang.  Pukul 15.30 kami sudah sampai di kampus Undiksha. Dan bergegas untuk pulang ke kos dan rumah masing-masing.


Sejarah Pura Teluk Terima
Pura Jaya Prana atau Pura Bhatara Sakti Wawu Rawuh atau yang lebih akrab dikenal sebagai Pura Teluk Terima adalah sebuah pura yang terletak di tengah kawasan Taman Nasional Bali Barat, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng – Bali.  Pura ini dapat ditempuh sekitar 4-5 jam perjalanan dengan menggunakan mobil/motor dari kota Denpasar. Setelah sampai di lokasi, kita harus berjalan kaki menaiki tangga sekitar satu km untuk mencapai areal Pura Jaya Prana tersebut. Jika baru pertama kali kesana, akan terasa cukup melelahkan.
Keberadaan Pura Jaya Prana ini tidak terlepas dari kisah legenda cinta sepasang manusia yang harus berakhir menyedihkan. Banyak menganggap kisah percintaan ini seperti Romeo dan Juliet versi Bali. Adalah seorang pemuda yang bernama Nyoman Jaya Prana. Dia adalah seorang yatim piatu. Sejak kecil, Jaya Prana menjadi abdi Raja di Kerajaan Kalianget. Karena kesungguhan dan ketulasan Jaya Prana mengabdi pada Sang Raja, Jaya Prana pun menjadi abdi kesayangan Raja.
Setelah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, Raja meminta Jayaprana untuk menikahi seorang gadis. Akhirnya setelah lama mencari, ia pun menjumpai seorang gadis cantik yang bernama Layonsari, putri seorang kepala desa. Kedua insan muda tersebut, saling jatuh cinta, dan atas ijin raja, pernikahan Jayaprana dan Layonsari digelar. Seuasai acara pernikahan dilaksanakan, Jayaprana dan Layonsari keesokan harinya menghadap raja untuk memohon doa restu. Alangkah terkejutnya raja, melihat kecantikan Layonsari. Sejak saat itulah, munculah niat Sang Raja untuk merebut Layonsari dari dekapan Nyoman Jayaprana. Kemudian Raja mengadakan rapat dengan beberapa patih untuk meminta pertimbangan agar bisa mendapatkan Layonsari. Atas usul Patih Saungguling, Raja diminta untuk memberi perintah kepada Jayaprana untuk pergi ke sisi barat daerah kerajaan membasmi para perampok.
Di tengah suasana bulan madu, Jayaprana harus terpaksa meninggalkan istrinya untuk melaksanakan tugas dari Raja. Dengan diselimuti firasat buruk, Layonsari dengan berat hati memberikan ijin kepada suaminya untuk pergi beberapa hari.
Ditengah hati yang cemas, Jayaprana pergi bersama Patih Saunggaling diiringi oleh beberapa prajurit. Akhirnya mereka tiba di kawasan hutan di dekat Pura Teluk Terima. Secara diam-diam Patih Saunggaling menusuk Jayaprana dengan kerisnya. Namun kesaktian Jayaprana membuat tubuhnya tidak terluka sedikit pun. Jayaprana terkejut atas ulah Patih Saunggaling, ia kemudian bertanya maksud si Paman Patih. Patih Saunggaling akhirnya menceritakan latar belakang tindakannya tersebut, semua adalah keinginan dari Sang Raja. Setelah memahami situasi yang sedang terjadi, Jayaprana kemudian mengizinkan Patih Saunggaling untuk menusuk tubuhnya. Jayaprana menganggap bahwa orang yang telah membesarkan dirinya adalah Raja, maka Raja juga berhak mencabut nyawanya. Mayat Jayaprana dikubur di hutan tersebut, Patih Saunggaling dan rombongan prajurit pulang kembali ke istana. Raja lalu mengumumkan kepada warga istana bahwa Jayaprana tewas di tangan perampok. Layonsari sangat terpukul mendengar kabar tersebut, ia merasa ada yang janggal dari kejadian tersebut.  Setelah melakukan tipu daya tersebut, Raja berusaha menghibur hati Layonsari dan memaksa ia untuk menjadi istri raja.  Layonsari kemudian menyadari bahwa yang sebenarnya membunu’h suaminya adalah Raja, akhirnya dengan menggunakan keris Sang Raja, Layonsari melakukan bunu’h diri. Kematian Layonsari membuat Raja menjadi gila, ia kemudian menusuk semua orang yang ada di sekelilingnya. Kekacauan terjadi, dan terjadilah perang saudara yang akhirnya memusnahkan kerajaan tersebut untuk selama-lamanya.
Itulah sekilas cerita Jayaprana dan Layonsari yang menjadi inti dalam keberadaan Pura Jayaprana. Banyak warga di seluruh Bali dan juga dari Jawa yang datang ke pura ini. Mereka berharap agar apa yang menjadi tujuannya bisa terkabulkan.
Adapun tiga permintaan yang sering dipanjatkan oleh umat yang datang ke pura ini, selain untuk memohon keselamatan  adalah  :
1. Memohon agar Diberikan Jodoh
Banyak pemuda-pemudi yang datang ke pura in selain untuk memanjatkan rasa bakti adalah berharap agar mendapatkan jodoh. Selain itu, bagi sepasang kekasih berharap agar hubungan cinta mereka dapat terjalin abadi.
2. Memohon agar Usaha / Bisnis Berjalan Sukses
Bagi warga Bali yang memiliki usaha dagang, pura ini adalah tempat yang baik untuk memohon kelancaran bisnis/usaha. Banyak wiraswasta yang datang dan berdoa ke sini pada hari purnama.
3. Memohon untuk Diberikan Anak
Menurut kepercayaan, di Pura Jayaprana ini berstana Dewa/Dewi Kesuburan. Para pasangan suami – istri yang belum memiliki keturunan dapat berdoa dan memohon di pura ini agar dianugrahkan putra atau putri yang cantik (Saya juga sudah membuktikannya).
Itulah tiga macam doa yang sering dipanjatkan di Pura Jayaprana. Jika Anda berlibur atau berwisata di kawasan Bali Barat, maka Anda dapat mengunjungi tempat ini sambil menikmati kawasan Taman Nasional Bali Barat.




Pura Pabean

Pura ini terletak di seberang jalan Pura Pulaki, yakni di Pantai Pulaki, agak menjorok ke arah laut. Pura ini merupakan salah satu dari lima buah pura yang ada di kawasan Pulaki, yang seluruhnya merupakan stana "Pesanakan Ida Batara Sami" yaitu pesanakan Ida Batara Pulaki, Ida Batara Melanting, Ida Batara Kertaning Jagat (di Desa Banyu Poh), Ida Batara Mutering Jagat (di Dusun Yeh Panes - Pemuteran), dan Ida Batara Pabean. Kata pabean sendiri diperkirakan berasal dari suku kata bea, diimbuhi awal pa dan akhiran an. Sehingga pabean bisa diartikan sebagai tempat aktivitas yang berhubungan dengan pengenaan bea-cukai bagi para pelayar yang membawa barang dagangannya ke Bali. Intinya, tentu ada kaitannya dengan tempat berlabuh kapal-kapal asing pada zaman dulu.
Pelabuhan-pelabuhan penting Bali Kuno di Bali Utara seperti Pabean Buleleng dan Pabean Sangsit dikendalikan dan dipengaruhi oleh pedagang terkemuka, sekalian merangkap sebagai pejabat militer Cina.
Di Pabean Buleleng pejabat itu berpangkat Kapitain (tidak jelas namanya), dan seorang berpangkat Mayor yang bernama Kho Bun Sing sebagai penguasa di Pabean Sangsit.
Perkawinan Raja Sri Jayapangus dengan seorang wanita Cina, dipuja-puja rakyatnya. Bentuk pemujaan ini dengan menstanakan Bhatari Cina di Pura Ulun Danu Batur, Bhatari Ratu Subandar di Pura Besakih, dan symbol-symbol lain misalnya adanya barong landung lanang wadon yang merupakan replika Sri Jayapangus dan permaisurinya.
Kebudayaan dan ceritra-ceritra rakyat Cina-pun menyebar di Bali, misalnya kisah Sampik – Ing Tay. Ilmu silat dari Cina juga berkembang di Bali Kuna dalam bentuk pencak, dan dalam bentuk tarian masal misalnya : baris dapdap, baris demung, baris presi, baris tumbak, baris tamiang, dan lain-lain.
Dibidang kemiliteran, tentara Bali Kuno mulai mengenal senjata-senjata jenis panah, tombak, pedang dan perisai (tamiang) yang lebih berkwalitas karena dibuat dari baja yang halus dan tajam. Industri peleburan baja belum ada di Bali. Oleh karena itu senjata-senjata jenis itu kebanyakan diimpor dari Cina.
Pakaian-pakaian mahal yang digunakan oleh Raja-Raja dan kaum bangsawan berbahan sutera (kain pere) yang dibeli dari saudagar-saudagar Cina. Sejenis kertas buatan Cina yang dinamakan kertas ulan taga, di Bali Kuna disakralkan, hanya digunakan sebagai salah satu sarana penting dalam upacara ngaben.
Perkawinan campuran antara orang-orang Cina dengan penduduk asli banyak terjadi. Orang Cina yang sudah membaur menjadi penduduk Bali biasanya menggunakan nama kombinasi Cina-Bali, misalnya : Babah Ketut, Babah Nyoman, dll.
Dikalangan bangsawan dan saudagar kaya, dikenal nama-nama yang berbau Cina, misalnya : Kho Cin Bun (yang menetap di Desa Sinabun), Kho Ping Gan (yang menetap di Desa Pinggan – Kintamani), Ma Sui La dan Ma Sui Lie, anak-anak kembar buncing dari Kho Ping Gan (oleh orang Bali dinamakan Masula – Masuli), keluarga Beng Kui Lun yang menetap di Desa Adat Bungkulan, dan keluarga Ma Pa Cung yang menetap di Desa Pacung.



Pura Pulaki
Sulit ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya.
Pura Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.
Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa.
Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Dipugar
Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.
Pulaki dan Sumsum Tulang Itik
Sejarah Pura Pulaki tak bisa dilepaskan dari tempat-tempat pemujaan lainnya di Bali. Menurut Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba, Buleleng terletak di antara gunung dan laut. Karena jarak pegunungan dan laut sangat dekat maka datarannya yang dimiliki sangat sempit. Ini disebut wilayah nyegara-gunung, suatu daerah yang penuh dengan pusat spiritual dan tempat pemujaan, baik di gunung maupun di tepi laut.
Ketut Simba menjelaskan, bentuk Pulau Bali itu tak ubahnya seperti seekor itik. Kepala menghadap ke barat berhadapan dengan Jawa, punggung ke utara berhadapan dengan laut Jawa dan Laut Bali, ekornya ke timur menghadap ke Lombok. Sementara leher, tembolok, dada, perut, berhadapan dengan Samudera Hindia. Di bagian punggung Pulau Bali terbentang sederetan daerah pegunungan dari barat, daerah Desa Cekik hingga ke timur di Lempuyang Karangasem sehingga Bali seolah dibelah menjadi dua. Bali Selatan dan Denbukit. Denbukit juga dibagi dua, di mana bagian barat biasa disebut dauh enjung dan dangin enjung, di mana batasnya adalah enjung sanghyang.
Ekor itik ini punya makna bahwa Bali punya nilai kesucian yang sangat tinggi. Karena itik binatang suci, terbukti jika orang membikin banten (aturan suci), terutama suci gede, maka binatang ini adalah sarana yang sangat menentukan kesucian banten tersebut. Begitu pula pegunungan yang memanjang dari barat ke timur adalah punggung itik, di mana pada tulang punggung mengandung sumsum dan unsur kehidupan pada dimensi spiritual. "Pada tempat inilah ditemukan garis kundalini," katanya.
Pura-pura yang ditemukan di sepanjang pantai antara lain Pura Bakungan, Pura Teluk Terima, Labuhan Lalang, Pura Gede Pengastulan, Labuhan Aji, Celuk Agung, Penimbangan, Beji, Puradalem Puri, Gambur Anglayang, Kerta Negara Mas, Pojok Batu, Pura Pulaki dengan pesanakannya dan pura lainnya. Sedangkan di pegunungan dari barat ke timur ada Pura Pucak Manik, Pura Bujangga, Asah Danu, Batukaru, Tamblingan, Puncak Mangu, Bukit Sinunggal, Indrakila, Penulisan, Besakih, Gunung Andakasa, Lempuyang dan lain-lain.
Nah, Pura Pulaki yang dibangun pada tempat perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk. Maka tata letak, struktur dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur antara segara dan gunung yang menyatu.




PURA MELANTING


Kisah Pura Melanting cukup menarik. Percaya atau tidak, kisah mistik ini masih sering dibicarakan sampai saat ini. Pura Melanting adalah salah satu Pura yang dibangun untuk memperingati kunjungan seorang Pendeta Hindu dari Pulau Jawa, yaitu Danghyang Nirartha. Pura ini diyakini menjadi tempat di mana putri sulungnya, Ida Swabawa, berstana disini.
Pura ini berada di tengah hutan di kaki bukit Pemuteran, Bali Utara. Sebuah tempat parkir besar tersedia bagi pengunjung dan beberapa berjejer warung-warung di daerah sekitarnya menyediakan minuman dan makanan ringan. Suasana hutan yang agak sepi telah berubah menjadi sedikit ramai dengan lampu-lampu jalan yang membentang di sisi-sisi jalan dan tempat parkir. Untuk mencapai daerah ini dari jalan utama Pemuteran, terdapat jalan sempit melewati suatu hutan kecil dan rumah-rumah para penduduk. Dari tempat parkir anda dapat melihat tangga, dan kita perlu memanjat masuk ke dalam kompleks Pura. Dua  patung naga besar menghiasi gerbang utama dan dari bawah tangga Pura akan tampak megah. Dalam perjalanan ke gerbang utama ada sebuah tempat kecil di mana orang-orang akan berdoa menempatkan Banten mereka dan mendapatkan air suci untuk membersihkan pikiran mereka sebelum mereka pergi lebih jauh ke bagian utama.
Seperti kebanyakan Pura di Bali, setelah kita memasuki gerbang utama Pura di mana orang tengah melakukan persiapan untuk Banten-Banten mereka. Setelah itu terdapat bagian utama tempat berdirinya Pura-Pura yang besar dan indah. Bangunan Pura ini dibangun kembali oleh pemerintah dan didesain ulang oleh seorang arsitek terkemuka Bali, Ida Bagus Tugur. Ketenangan tempat ini menciptakan suasana yang sempurna bagi orang-orang untuk memanjatkan doa-doa mereka dan juga untuk bermeditasi. Beberapa orang datang pada waktu malam hari terutama untuk melakukan meditasi. Pemandangan yang dapat dilihat dari Pura sangant luar biasa, perbukitan hijau yang mengelilingi Pura, dan dari bagian utama Pura kita dapat melihat Laut Jawa yang berwarna biru. Angin dingin dan suara dari makhluk hidup yang berada di hutan sangat menenangkan jiwa. Para Pemangku, yang mengurus Pura sangat ramah kepada pengunjung. Mereka memiliki bagian informasi di mana anda bisa menyewa kamben dan mendapatkan beberapa informasi tentang Pura ini. Masyarakat Hindu, yang datang untuk berdoa di Pura ini, tidak hanya dari daerah lokal saja, namun dari seluruh Bali dan juga dari pulau luar Bali. Kegiatan keagamaan di Pura ini berlangsung siang dan malam. Di malam hari suasana di Pura akan menjadi lebih mistis dan misterius.

Fungsi Pura Melanting Bagi Masyarakat Hindu di Bali
Masyarakat Hindu di Bali adalah masyarakat yang sosial religius, yang selalu berhubungan erat dengan alam Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), sehingga banyak dijumpai pura-pura sebagai tempat pemujaan terhadap manifestasiNya yang sesuai dengan fungsinya bagi masyarakat Hindu seperti pelinggih, penunggun karang, pura dadia, sanggah kemulan, pura khayangan tiga dan lain-lain. Pura Melanting adalah salah satu pura yang bersifat fungsional sebagai tempat dari pemujaan Bhatari Melanting. Bhatari Melanting dapat disejajarkan dengan Dewa Kwera (dewanya uang) yang di Bali lebih dikenal dengan sebuah Bhatari Rambut Sedana. Adapun yang berwujud sebagai Bhatari Melanting adalah Ida Ayu Subawa yaitu putri dari Dang Hyang Nirarta yang telah berubah wujud. Pura Melanting terletak di pojok timur laut, mengarah ke pasar dan ada juga Pura Melanting itu terletak di tengah-tengah pasar. Yang memuja dan yang bertanggung jawab terhadap Pura Melanting adalah orang-orang yang terlibat didalam kegiatan pasar, baik pedagang, maupun buruh bertanggung jawab terhadap Pura Melanting beserta piodalannya..
Pura Melanting adalah termasuk aspek agama dan kebudayaan yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat untuk menyediakan Bhoga, Upa Bhoga dan Pari Bhoga, menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Pasar adalah salah satu tempat untuk beraktifitas untuk mengejar Jagathita (kebahagiaan jasmani) seperti tempat menyediakan bahan sandang, pangan dan papan dan tidak mengabaikan kepentingan rohani dengan pura Melantingnya. Dengan adanya kemajuan teknologi pasar telah banyak mengalami perubahan-perubahan baik dari sarana prasarananya namun dengan demikian juga halnya keadaan pura Melanting dari bentuk sederhana menuju bentuk yang lebih permanen. Walaupun demikian tidak merubah fungsi terhadap pura melainkan tetap mempertahankan fungsinya sebagaimana mestinya oleh masyarakat Hindu dan nilai-nilai keagamaannya sama sekali tidak luntur terbukti masih adanya kepercayaan kepada Bhatari Melanting. Hal ini pula menjadikan salah satu gaya tarik pulau Bali terhadap para wisatawan.

Fungsi Pura Melanting Dalam Hubungannya dengan Pasar

Antara Pura Melanting dengan pasar mempunyai hubungan yang sifatnya saling tunjang menunjang sehingga terwujudnya jual beli antara para pedagang dengan pembeli baik secara langsung maupun secara tidak langsung.


Definisi Pura Melanting
Pura Melanting adalah merupakan salah satu tempat pemujaan umat Hindu di Bali. Pura tersebut bersifat fungsional sebagai stana (pelinggih) Bhatari Melanting. Bhatari Melanting dari segi niskala sebagai kepala pimpinan "Wong Samar" yang menguasai seluruh jagat raya ini, sedangkan ditinjau dari segi rohani beliau bertugas melindungi/mengayomi para pedagang dan memberikan keselamatan warga masyarakat pada setiap Bale Banjar dan setiap pasar-pasar yang ada di Bali.

Arti dan Pengertian Melanting
Pura Melanting adalah merupakan tempat para pedagang untuk memohon keselamatan, ketentraman lahir batin sehingga pada saat berdagang dapat memperoleh keuntungan sesuai dengan yang diinginkan. Pura Melanting pada umumnya didirikan di dalam setiap pasar di Bali.
Kata Melanting berasal dari kata mel dan anting. Kata mel berarti kebun, di samping itu kata mel berarti sifat tidak ramah, berat mulut, mel juga berarti lembab. Sedangkan kata anting berarti batu. Dari kata anting menimbulkan kata anting-anting yang artinya:
  1. Perhiasan telinga yang terbuat dari emas.
  2. Batu seperti bandul.
  3. Burung anting (nama burung).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kata Melanting dapat dipisahkan menjadi kata "mel" dan kata "anting". Mel berarti kbun dan anting berarti bergantungan pada tali. Melanting adalah suatu tempat persembahan hasil bumi yang dipersembahkan kehadapan Ida Ayu Swabawa sebagai Bhatari Melanting (Dewa yang menguasai pasar). Pasar adalah tempat pertemuan antara penjual dengan pembeli untuk mengadakan tawar menawar (transaksi) sehingga terdapat persetujuan kedua belah pihak. Melanting adalah tempat persembahan/persembahyangan untuk menghaturkan segala hasil bumi sebagai ucapan terima kasih kehadapan Bhatari Melanting yang beristana di sana serta memohon keselamatan sehingga tidak diganggu oleh wong samar.
Beberapa meternya terdapat pura kaca yang dimana kalau bersembahayang disana menggunakan alat-alat makeup atau parfum diyakini dalam pura ini memeng sangat berbeda dengan pura-purayang lainnya kita bisa langgsung memakai alat-alat makeup atau parfum tersebut setelah melakukan persembahyangan dengan bahasa balinya memasupati.